Wednesday, April 27, 2011

Dibalik LKPJ Gubernur Tahun 2010

Oleh : Gandung Ismanto* 

Pendahuluan

Hampir sepekan lalu Gubernur menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawabannya di hadapan Sidang Paripurna DPRD Provinsi Banten (12/04). Insiden demonstrasi mahasiswa dalam sidang tersebut menstimuli perhatian publik yang lebih besar pada LKPJ, di samping karena fakta bahwa LKPJ tahun 2010 merupakan LKPJ yang disampaikan menjelang pelaksanaan Pemilukada 2011, sehingga tentu memiliki bobot politik yang sangat tinggi. Mengapa? Karena Pemilukada merupakan ruang terbuka yang digunakan sebagai momentum untuk melakukan 2 (dua) hal penting dalam sistem demokrasi, yaitu: (1) mengevaluasi janji-janji politik yang pernah dilakukan pada Pemilukada sebelumnya; serta (2) memperbarui kontrak sosial pada Pemilukada mendatang. Karena kedua hal tersebutlah, apa yang dilakukan elemen mahasiswa pada sidang paripurna kemarin dapat dipahami sebagai tindakan yang wajar, kendati ada sedikit bagian darinya yang mungkin dapat dianggap di luar kepatutan, misalnya dalam perspektif tata krama politik dan regulasi yang berlaku.

Tetapi bagaimanapun mereka bukan kriminal, bukan pelaku kejahatan, sehingga tidak layak didekati dengan pendekatan hukum semata. Oleh karena itu, bila pendekatan yang lebih jernih dan substansial dilakukan untuk melihat fenomena itu maka kita pasti akan mudah memahami makna pepatah kuno ‘tak ada asap kalau tak ada api’, begitu kira-kira cara mudah memahami fenomena tersebut. Tindakan hukum terhadap pelakunya bisa saja dilakukan, kendati tentu tidak menyelesaikan masalah dan bahkan akan menyulut berkobarnya api yang lebih besar lagi. Hanya kedewasaan dan kearifan untuk memahami substansi pesan dari demonstrasi itulah yang dapat menyelesaikan masalahnya.

Artikel ini tentu tidak akan mengulas mengenai insiden paripurna LKPJ tersebut melainkan konten dalam LKPJ yang banyak menarik perhatian, dengan menyajikan cara pandang berbeda dan lebih komprehensif, dan tentu obyektif. Tentu politis sifatnya karena LKPJ adalah statemen politik pemerintah yang disampaikan kepada lembaga politik DPRD. Dan tentu kritis sifatnya karena sengaja diwakafkan kepada masyarakat sebagai bagian dari pendidikan politik agar lebih dewasa.



Tinjauan Filosofis

Keberhasilan itu ternyata tidak tunggal perspektifnya, dan karenanya penilaian atas suatu keberhasilan seringkali subyektif sifatnya, dalam arti tergantung pada siapa dan dimana posisi penilainya. Oleh karena itu, guna mendapatkan penilaian yang tidak subyektif kita perlu menyepakati siapa yang berhak menilai dan dimana posisi penilai itu seharusnya.

Dalam konteks ini, secara filosofis LKPJ merupakan manifestasi pertanggungjawaban yang tentu muncul karena adanya hubungan kontraktual antara 2 pihak, yaitu: pihak yang memberikan mandat atau amanah, dan pihak yang menjalankan mandat tersebut. Dengan demikian, terjawab sudah siapakah yang berhak menilai suatu pertanggungjawaban seperti LKPJ dimaksud. Pertanyaannya kini, siapakah pemberi mandat tersebut?

Guna menjawab pertanyaan kedua ini menurut Saya tidak susah namun juga tidak mudah karena lebih membutuhkan nurani daripada kognisi untuk menjawabnya. Demokrasi langsung yang kita anut saat ini menempatkan secara tegas kedaulatan rakyat pada kedudukannya yang tidak lagi abu-abu seperti era sebelumnya. Rakyatlah yang memilih dan memberi mandat langsung kepada kepala daerah, tanpa ‘makelar’. Dan karenanya rakyatlah yang paling berhak untuk menilai sejauhmana kepala daerah itu mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan padanya, juga tanpa perantara.

Namun demikian, karena upaya pelembagaan politik dan demokrasi yang tertib dan beradab, mekanisme penilaian pertanggungjawaban oleh rakyat ini diatur dalam UU, tentu tanpa mengesampingkan kedudukan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tersebut. UU No.32/2004 dan PP No.3/2007 mewajibkan kepala daerah untuk menyampaikan LKPJ-nya kepada DPRD sebagai representasi rakyat yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Karenanya, DPRD kini bertugas mewakili rakyat untuk menilai LKPJ tersebut. Dan karenanya pula LKPJ menjadi manifestasi pertanggungjawaban politik gubernur kepada rakyat melalui DPRD, sementara DPRD sendiri sedang dievaluasi mandatnya oleh rakyat saat menjalankan tugas untuk menilai LKPJ tersebut.

Lebih daripada itu, LKPJ dan segala bentuk pertanggungjawaban pemerintah pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban ruhaniah kepada Allah SWT karena 2 alasan mendasar, yaitu: (1) sejauhmana kepala daerah telah menepati janji-janji yang dulu disampaikan dengan penuh “bujuk rayu” dan “tipu daya” pada Pemilukada, karena kesadaran teologis bahwa janji adalah hutang yang harus dilunasi; dan (2) sebaik apa amanah yang telah diberikan untuk mengurusi rakyat itu dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, dimensi LKPJ itu tentu tidak sekedar menjadi pertanggungjawaban politis semata, tidak juga sekedar menjadi pertanggungjawaban administratif-birokratis yang bersifat formal dan protokoler, namun lebih daripada itu ia menjadi pertanggungjawaban moral yang ukhrowi sifatnya.



Dimensi Keberhasilan

Kalau ukuran keberhasilan hanya dilihat dari ada tidaknya peningkatan pada indikator-indikator makro pembangunan, maka Saya setuju bahwa Pemerintah memang telah berhasil sebagaimana diklaim pada LKPJ 2010. Demikian juga kalau RPJMD yang menjadi satu-satunya ukuran, tentu hampir seluruh target sebagaimana tertulis dalam RPJMD yang telah direvisi hampir seluruhnya tercapai, bahkan melebihi target. Dan untuk konteks ini, sekali lagi Saya pun setuju dengan klaim keberhasilan tersebut.

Tetapi, dalam perspektif yang lebih luas dimensi keberhasilan tentu tidak sekedar dan sesempit itu makna dan ukurannya. Perlu keberanian dan kejujuran untuk melihatnya secara lebih obyektif, terbuka, dan komprehensif. Mengukur keberhasilan sebagai achievement tentu tidak hanya berdasarkan standar patokan seperti yang dilakukan saat ini, tetapi bisa juga dilakukan berdasarkan standar ideal ataupun rerata. Ketiganya lazim digunakan, tetapi reliabilitasnya tentu tergantung pada konteks dan tujuan pengukurannya. Dalam hal penggunaan standar patokan seperti saat ini, reliabilitasnya tentu sangat tergantung pada rasionalitas ukuran patokan yang dijadikan standar tersebut. Sayangnya RPJMD yang dijadikan patokan saat ini telah mengalami manipulasi dan politisasi, sehingga semua indikatornya menjadi pro penguasa bukan pro rakyat.

Dalam pendekatan akuntabilitas kinerja, keberhasilan itu diukur dari sejauhmana masukan yang secukupnya dapat menghasilkan keluaran, hasil, dampak (impact), serta manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Karenanya keberhasilan itu diukur tidak hanya dari sisi efektivitasnya, melainkan juga efisiensi dan kontribusinya bagi kesejahteraan rakyat. Kalau pendekatan ini yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai keberhasilan, Saya tentu sangat meragukan keberhasilan yang telah diklaim tersebut. Alasannya sederhana, kalau jumlah orang miskin turun, AKI dan AKB turun, LPE naik, IPM naik, itu tentu keniscayaan karena tidak ada orang di manapun yang ingin miskin, ingin anak dan istrinya mati pascamelahirkan, ingin miskin, ingin tidak terdidik dan lain-lain. Fungsi pemerintah dengan anggaran publiknya harusnya mampu memacu kenaikan alamiah ini menjadi berlipat ganda melalui sejumlah intervensi program pembangunan yang berdaya dan berhasilguna.

Artinya keberhasilan tentu tidak sekedar diukur dari kenaikannya semata tetapi berapa besar dan wajarkah kenaikan itu bila dibandingkan dengan besarnya anggaran yang digunakan, bila dibandingkan dengan dampak yang dihasilkan, serta bila dibandingkan dengan kenaikan yang dicapai daerah lain. Nah, kalau ini ukuran yang digunakan maka Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa kinerja pemerintah sangat tidak optimal dan jauh dari harapan, apalagi janji manis yang dulu diucapkan.



Beberapa Fakta

Meningkatnya indikator makro IPM dari 70,06% pada tahun 2009 menjadi 70,56% pada tahun 2010 misalnya, adalah kenaikan yang alamiah. Tanpa intervensi pemerintah berupa milyaran rupiah dalam sejumlah progam pembangunan pun IPM diyakini akan naik, apalagi indikator ini domainnya lebih banyak berada pada pemerintah kabupaten/kota. Artinya bila kinerja kenaikan 0,5% atau naik hanya 3,96% sejak tahun 2002 tentu sangat tidak efisien bila dibandingkan dengan besaran anggaran yang digunakan untuk itu sepanjang 10 tahun tersebut. Tahun 2010 saja mencapai hampir 400 miliar - belum termasuk APBD kabupaten/kota - jumlah yang tentu fantastis bila dibandingkan dengan outputnya yang minimalis tersebut. Kinerja ini tentu juga sangat tak sebanding dengan keberhasilan provinsi baru lainnya, Gorontalo misalnya yang sejak 2002-2009 berhasil menaikkan IPM dari 64,1 menjadi 69,79 atau sebesar 5,69% padahal total APBD-nya hingga tahun 2011 ini hanya sebesar 636 miliar saja.

Kenaikan 0,5% IPM pada tahun 2010 atau total hanya 3,96% sejak tahun 2002 ini tentu sangat tidak optimal bila dibandingkan dengan Bangka Belitung yang sejak 2002 berhasil menaikkan IPM-nya dari 65,4 menjadi 72,55 atau naik sebesar 7,15%. Yang menyedihkan bahkan kenaikan IPM banten masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan provinsi Papua Barat yang berhasil menaikkan IPM-nya dari 63,7 menjadi 68,58 atau sebesar 4,88%, tentu dengan nilai APBD yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Banten yang kini mencapai lebih dari 3 triliun. Banten hanya sedikit lebih baik kinerja peningkatan IPM-nya dalam 10 tahun terakhir, dari provinsi Maluku Utara yang sejak 2002 hanya berhasil menaikkan IPM-nya dari 65,80 menjadi 68,83 atau sebesar 3,03%.

Di samping itu, LPE Banten yang naik hingga 5,94% pun tak patut disebut sebagai keberhasilan karena berbanding terbalik dengan angka pengangguran yang tinggi serta kinerja pengentasan kemiskinan yang tidak memuaskan. Artinya kenaikan LPE itu sangat semu karena tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Kenaikan LPE ini pun sangat tidak sebanding dengan kemampuan capaian LPE Gorontalo yang hampir selalu di atas 7% sepanjang 10 tahun terakhir, tahun 2010 bahkan mencapai 7,63%.

Analisis terhadap kinerja LPE terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran sepanjang 5 tahun terakhir membuktikan sinyalemen di atas. Menurut Samiran – analis di BPS Banten-, secara statistik kontribusi 1% pertumbuhan ekonomi di Banten ternyata hanya mampu menyediakan lapangan kerja baru untuk sekitar 18.000 tenaga kerja saja. Artinya bila LPE saat ini adalah 5,94%, maka LPE tersebut hanya mampu menyediakan lapangan kerja bagi 106.920 tenaga kerja, padahal jumlah penganggur saat ini mencapai 726.377 orang. Bahkan menurutnya, angka pengangguran terus bertambah karena rata-rata tambahan angkatan kerja baru sebanyak 115.543 orang per tahun tidak diimbangi dengan pertambahan kesempatan kerja yang hanya tersedia rata-rata sebanyak 99.976 orang per tahun.

Masih menurut Samiran, setiap 1% pertumbuhan ekonomi di Banten ternyata hanya mampu menurunkan rata-rata 0,03 persen persen jumlah penduduk miskin. Kecilnya pengaruh LPE itu tentu membuktikan sinyalemen diatas, bahwa kenaikan LPE tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Bahkan, bila dilihat dari sektor dominan yang membentuk LPE, sebagian pertumbuhan ekonomi justru dinikmati oleh bukan penduduk Banten yang dapat dilihat dari dari struktur modal kegiatan ekonomi yang ada di Banten. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata justru makin menciptakan ketimpangan yang nyata antar kabupaten/kota di Banten. Berdasarkan analisisnya, setiap 1% LPE justru meningkatkan besaran indeks ketimpangan sebesar 0,19%. Artinya ada kecenderungan yang sangat nyata bahwa daerah yang maju semakin maju sementara daerah yang kurang maju terus tertinggal. Fakta ini paling tidak membuktikan isu disparitas Utara-Selatan yang masih relevan hingga kini, yang oleh sebagian elite ditutup-tutupi kenyataannya.



Penurunan AKB menjadi 31,28 per 1000 kelahiran hidup,

penurunan AKI menjadi 199 per 100.000 kelahiran hidup, serta kenaikan AHH menjadi 68,34 tahun, juga tidak dapat dinilai agak kontradiktif dengan sejumlah data yang menggambarkan kondisi yang sebaliknya. Data kementerian kesehatan RI masih menempatkan Banten sebagai provinsi tertinggi di Indonesia prevalensi penyakit cacingan (60,7%), diikuti NAD 59,2%, NTT 27,7%, Kalbar 26,2%, dan Sumbar 10,1%; peringkat ke-2 kasus Campak (1.552) setelah Jabar (3.424), diikuti Jateng (1.001), Sumsel (766), Jatim (735), dan Sulsel (711); peringkat ke-5 nasional gizi buruk terbanyak yang mencapai lebih dari 176 ribu kejadian. Banten juga tercatat sebagai provinsi terrendah secara nasional yang memiliki persentase akses air minum yang aman (27,5%), diikuti NAD (30,6%) dan Bengkulu (33%); provinsi dengan Persentase Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terendah ke-2 secara nasional (21,37%) setelah Papua Barat (27,34%); Provinsi dengan rasio terrendah jumlah puskesmas per 100.000 penduduk, yang hanya sebesar 2,0; serta provinsi dengan rasio jumlah dokter paling sedikit di Indonesia, yang hanya sebesar 3,54 dokter per 100.000 penduduk.



Penutup

Ada harapan besar bahwa DPRD sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menilai LKPJ, dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan demikian, ada catatan strategis dan rekomendasi yang obyektif dan rasional terhadap LKPJ tersebut sehingga dapat dimanfaatkan baik oleh pemerintah maupun juga oleh masyarakat dalam rangka mengevaluasi mandat yang diberikannya 5 tahun yang lalu. Ketidakmampuan DPRD melalui Pansus-nya untuk bersikap kritis dan obyektif hanya akan menstimuli ketidakpuasan yang lebih besar di kalangan masyarakat. Dan kalau ini terjadi, bukan tidak mungkin muncul apatisme bahkan anarkhisme, sebagai akibat dari malafungsi yang disinyalir tengah melanda lembaga-lembaga demokrasi lokal kita. Benarkah begitu?



*Penulis adalah guru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta, Host acara ”Sudut Pandang” Banten Tv

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates